A. Latar Belakang
Kejahatan
korporasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh para karyawan atau pekerja
terhadap korporasi, korporasi yang sengaja dibentuk dan dikendalikan untuk
melakukan kejahatan. Pada awalnya korporasi atau badan hukum adalah subjek yang
hanya dikenal didalam hukum perdata. Apa yang dinamakan badan hukum itu sebenarnya
adalah ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan yang
berdiri status sebagai subjek hukum, disamping subjek hukum yang berwujud
manusia alamiah.
Sally
A Simpson yang mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan
korporasi adalah “conduct of a corporation, or employess acting on behalf of a
corporation, which is proscribed and punishable by law” (melakukan suatu
koorporasi, atau karyawan yang bertindak atas nama sebuah perusahaan yang
dilarang dan dikenai sanksi hukum). Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide pokok
dari definisi Braitwaite mengenai kejahatan korporasi. Pertamaa, tindakan
illegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas
sosioekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenannya, yang
digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum
pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. Kedua.
Baik korporasi (sebagai “subjek hukum perorangan “legal person”) dan
perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana
dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang
dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan. Ketiga, motivasi
kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi,
melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional.
Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional
(internal) dan sub kultur organisasional.
Kejahatan
yang terjadi pada kasus sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah suatu
kejahatan yang tidak berhenti ketika pelaku berhasil dijebloskan kedalam
penjara atau memberikan ganti kerugian. Kejahatan ini akan menimbulkan dampak
yang akumulatif dan cenderung melahirkan suatu bentuk kejahatan baru.
Destructive logging / perusahaan hutan adalah contoh konkret yang selanjutnya
dapat melahirkan rentetan bencana berupa banjir, longsor, kekeringan, gagal
panen, gagal tanam dan kebakaran hutan. Bahkan dampak dari destructive logging
dapat menimbulkan hilangnya nyawa dan harta benda bagi mereka yang tertimpa
bencana ikutan tersebut.
B. KASUS
:
PT
Galuh Cempaka bergerak dalam bidang pertambangan intan, PT tersebut membuang limbah
industri ke aliran sungai yang dapat membahayakan bagi kesehatan dan keselamatan
masyarakat sekitar. Menurut data yang didapatkan dari siaran pers WALHI
Kalimantan selatan, pencemarn yang dilakukan oleh PT. Galuh Cempaka tersebut
mengakibatkan tingkat keasaaman air sungai mencapai ph 2,97. Hal ini sangat
bertentangan dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah
Kalimantan Selatan, yaitu tingkat ph normal air sungai sebesar 6 hingga 9 ph. Selain
itu efek dari penambangan tersebut mengancam ketahanan pangan dikota
Banjarbaru. Lumbung padi kota banjarbaru terancam dengan aktivitas penambangan
PT Galuh Cempaka. Dampak lingkungan ini juga menuruni fungsi sungai sebagai
pengatur tata air, minimal pada tiga sungai di kelurahan palam. Penyebabnya tak
lain pengelolaan tambang yang carut marut dimana perencanaan pertambangan tidak
mengakomodir kepentingan masyarakat sekitar dan terkesan arogan.
Setelah
ditelusuri ternyata dokumen AMDAL yang dibuat PT Galuh Cempaka cacat hukum dan
pada implementasinya juga tidak dijalankan. Dengan kata lain dokumen amdal
hanya sebagai persyaratan administrasi belaka. Dampak langsung yang terjadi
adalah penurunan kualitas air yang menyebabkan rusaknya fungsi biologis. Hal
ini terlihat dari ikan-ikan yang mati, tidak mengalirnya air secara normal
bahkan dua sungai tidak berfungsi. Belum lagi genangan air banjir yang
mengakibatkan terendamnya ribuan hektare sawah masyarakat yang berakibat pada
keterlambatan panen untuk musim tanam. Jika hal ini terus dibiarkan dapat
mengakibatkan penurunan kualitas air yang akan mengancam kepunahan biota air.
Sungai yang tidak berfungsi sebagai pengatur tata air akan mengakibatkan krisis
yang lebih jauh dan berdampak besar berupa krisis ketahanan pangan yang dapat
mengakibatkan krisis ekonomi. Masalah ini dianggap sebagai kejahatan korporasi
lingkungan karena sudah jelas melanggar UU yang telah ditatapkan, yaitu UU No
23 Tahun 1997, Tentang pengelolaan Lingkungan Hidup, Bab VI Pasal 20 ayat 1
“Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah
ke media lingkungan hidup.
Kejahatan
lingkungan adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang atau kelompok atau Badan
hukum yang bersifat merusak dan mencemari lingkungan. Dalam kacamata
krimonologi, kejahatan lingkungan memiliki perbedaan dengan kejahatan
konvensional. Ciri utama dari kejahatan ini adalah dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan (korporasi) dalam menjalankan usahanya.
Permasalahan
lingkungan yang disebabkan oleh perusahaan PT Galuh Cempaka seakan menjadi
benalu yang menguras sumber kekayaan alam, dan sekaigus memberikan dampak
kerusakan bagi lingkungan yang akhirnya akan memberikan kerugian yang sangat
besar bagi kehidupan masyarakat di Indonesia.
C. Solusinya
Menurut
saya kenapa kasus tersebut bisa terjadi karena kurangnya kontrol dari
pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan yang mengadakan eksploitasi di bumi
nusantara ini. Selain itu, pelaksanaan kententuan hukum yang berlaku terhadap
pelaku kejahatan lingkungan terasa masih setengah-setengah. Pelaku kejahatan
lingkungan tidak mendapatkan stigma masyarakat yang berat dan melekat. Karena
apa yang dilakukan oeh pelaku kejahatan tidak memberikan dampak secara langsung
melainkan secara lamban namun sangat fatal. Hal ini disebabkan oleh kurangnya
sosialisasi kepada masyarakat tentang kejahatan lingkungan itu sendiri.
Meskipun sudah jelas dicantumkan dalam UU tentang pelanggaran yang berkaitan
dengan lingkungan, tetapi masih banyak dari masyarakat yang tidak mengetahui
tolak ukur untuk menentukan apakah suatu kejahatan masuk ke dalam kategori
kejahatan lingkungan atau tidak. Masyarakat baru akan sadar ketika telah jatuh
korban dan muncunya berbagai masalah yang diakibatkan oleh pencemaran
lingkungan tersebut, seperti masalah penyakit kulit yang terjadi
pada kasus PT Galuh Cempaka.
Seharusnya
untuk menangani permasalahan ini peran pemerintah sangat dibutuhkan karena
dalam karakteristik kejahatan korporasi, pembuktian apakah suatu perusahaan
melakukan kejahatan atau tidak, hanya bisa dilakukan oleh pemerintah atau Badan
Hukum yang bersangkutan. Selain itu sosialisasi tentang kejahatan korporasi
akan lebih baik apabila ada inisiatif dari pemerintah untuk mengadakan
peningkatan pengenalan mengenai kejahatan-kejahatan seperti apa saja yang bisa
dikatakan sebagai kejahatan korporasi.
Kejahatan
korporasi yang dimaksud adalah kejahatan korporasi dibidang lingkungan hidup,
yaitu tindakan pencemaran dan perusakan lingkungan dilakukan oleh sebuah
korporasi bernama Galuh cempaka. Dampak yang diakibatkan adanya perbuatan oleh
korporasi tersebut merugikan tidak hanya secara material, namun juga telah
merugikan lingkungan hidup masyarakat. Hal seperti ini dapat dikatakan sebagai
sebuah perbuatan tindak kejahatan. Dalam kasus ini ditemukan beberapa pelanggaran
hukum yang bisa dijerat dengan pasal-pasal dalam undang-undang antara lain
hukum lingkungan hidup (UULH), hukum pidana (KUHP) dan hukum perdata (KUHPer).
Terkait
dengan PT Galuh Cempaka, menurut organisasi non pemerintah yang fokus pada
persoalan lingkungan ini, perusahaan tersebut telah melakukan kejahatan
korporasi yaitu sengaja melakukan pembuangan limbah atau zat ke aliran sungai
yang dapat membahayakan bagi kesehatan dan keselamatan orang byk. Perbaikan
sistem pengolahan air limbah (sispal) yang dilakukan PT Galuh Cempaka adalah
suatu keharusan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan.
Sanksi
dapat dijatuhkan kepada perorangan yaitu setiap orang yang memberi perintah
maupun yang melaksanakan perintah, dalam kejadian ini, korporasi dapat juga
dijadikan tersangka sesuai dalam pasal 45 dan pasal 46 UU No.23/1997 tentang
pengelolaan lingkungan hidup, dan didalam RUU KUHP paragraph 7 tentang
korporasi yang dimulai dari pasal 44-49.
Melihat
polanya maka dalam pandangan diatas, kejahatan ini bukanlah suatu peristiwa
yang berdiri sendiri. Kesalahan dalam pengurusan yang telah berlangsung lama
menjadi salah satu faktor utama pendorong terjadinya kejahatan tersebut termasuk
regulasi yang mengaturnya. Belum lagi lemahnya penegakan hukum yang
berimplikasi pada semakin tingginya tingkat kejahatan tersebut. Parahnya oknum
aparat penegak hukum juga menjadi bagian dari praktek atau modus bagaimana
kejahatan ini berlangsung dan dilakukan terus menerus.
Di
Indonesia adalah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan korporasi adalah
undang-undang nomor 23 thun 1997 tentang lingkungan hidup. Hal ini dapat
dilihat dari isi pasal 46 yang mengadopsi doktrin vicarious liability. Meskipun
tidak digariskan secara jelas seperti dalam KUHP Belanda, berdasarkan sistem
hukum pidana di Indonesia pada saat ini terdapat tiga bentuk pertanggungjawaban
pidana dalam kejahatan korporasi berdasarkan regulasi yang sudah ada, yaitu :
dibebankan pada korporasi itu sendiri, seperti diatur dalam Psaal 65 ayat 1 dan
2 UU No.38/2004 tentang jalan. Dapat pula dibebankan kepada organ atau pengurus
korporasi yang melakukan perbuatan atau mereka yang bertindak sebagai pemimpin
dalam melakukan tindak pidana, seperti yang diatur dalam Pasal 20 UU No,31/1999
tentang tindak pidana korupsi dan UU No.31/2004 tentang perikanan kemudian
kemungkinan berikutnya adalah dapat dibebankan baik kepada pengurus korporasi
sebagai pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan kepada korporasi,
contohnya seperti dalam pasal 20 ayat 1 UU No.31/1999 tentang tindak pidana
korupsi.
Penting
untuk melakukan upaya rehabilitasi dari kerusakan lingkungan yang terjadi.
Sehingga kasus ini juga bisa dijadikan pembelajaran bagi kehidupan berbangsa
dan bernegara untuk melindungi warga Negara dan kepentingan ekonomi, sosial dan
lingkungan hidupnya. Eksploitasi dan eksplorasi telah menyebabkan terjadinya
kerusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan, dalam UUPLH No.23 tahun 1997
hal ini telah melanggar Pasal 41 hingga pasal 45 undang-undang tersebut. Dalam
ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD 1945, bahwasannya bumi. Air, dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat dan digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
Masalah
ini tidak akan pernah selesai tanpa ada inisiatif dari kita semua untuk
menanggulanginya. Sebagai individu ataupun masyarakat, kita juga memiliki
kewajiban untuk menjaga lingkungan kita. Lebih baik kita siaga sejak dini
daripada baru akan menyadarinya saat berbagai masalah yang baru muncul akibat
pencemaran lingkungan. Sebagai penegak hukum, seharusnya masalah seperti ini
harus ditangani secara serius, karena permasalahan yang berkaitan dengan
kejahatan korporasi tersangka sangat sulit ditangkap ataupun dikenali. Sesuai
dengan fungsinya baik secara mikro maupun makro, sebuah bisnis yang baik harus
memiliki etika dan tanggung jawab social. Nantinya, jika sebuah perusahaan
memiliki etika dan tanggung jawab social yang baik, bukan hanya lingkungan
makro dan mikronya saja yang akan menikmati keuntungan, tetapi juga perusahaan
itu sendiri. Oleh karena itu, sebuah perusahaan harus mementingkan yang namanya
etika bisnis. Agar ketika dia menjalani bisnisnya, tidak merugikan pihak
manapun, dan sebuah perusahaan harus mempunyai tempat pembuangan limbah
sendiri. Para pelaku bisnis harus mempertimbangkan
standar etika demi kebaikan dan keberlangsungan usaha dalam jangka panjang.
Untuk penanganan masalah lingkungan tersebut sebaiknya Bapedal segera turun
tangan, jangan sampai berlarut-larut yang bisa berdampak pada sosial
masyarakat. Pembangunan disamping dapat membawa kepada kehidupan yang lebih
baik juga mengandung resiko karena dapat menimbulkan pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup. Untuk meminimalkan terjadinya pencemaran dan kerusakan
tersebut perlu diupayakan adanya keseimbangan antara pembagunan dengan
kelestarian lingkungan hidup, peningkatan kegiatan ekonomi melalui sektor
industrialisasi tidak boleh merusak sektor lain.
SUMBER :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar