SEJARAH
SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA
Dari
segi sejarah sistem pemerintahan yang berlaku di masa ini adalah sistem
pemerintahan presidensil, namun terhitung sejak tanggal 14 November 1945,
Soekarno sebagai kepala pemerintahan republik diganti oleh Sutan Sjahrir,
dengan kata lain sistem pemerintahannya pun berubah ke parlementer. Alasan
politis untuk mengubah sistem pemerintahan dari Presidensiil menjadi
Parlementer dipicu karena seminggu sebelum perubahan pemerintahan itu, Den Haag
mengumumkan dasar rencananya. Soekarno menolak hal ini sedangkan Sjahrir
mengumumkan pada tanggal 4 Desember 1945 bahwa pemerintahnya menerima tawaran
ini dengan syarat pengakuan Belanda atas Republik Indonesia.
A. Sistem
Pemerintahan Indonesia Tahun 1949-1950
Pada masa ini
sistem pemerintahan indonesia adalah sistem pemerintahan parlementer, yang
meganut Sistem multi partai. Didasarkan pada konstitusi RIS, pemerintahan yang
diterapkan saat itu adalah sistem parlementer kabinet semu (Quasy
Parlementary). Perlu diketahui bahwa Sistem Pemerintahan yang dianut pada masa
konstitusi RIS bukanlah cabinet parlementer murni karena dalam sistem
parlementer murni, parlemen mempunyai kedudukan yang sangat menentukan terhadap
kekuasaan pemerintah.
Diadakannya perubahan bentuk negara kesatuan RI menjadi negara serikat ini adalah merupakan konsekuensi sebagai diterimanya hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Perubahan ini dituangkan dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Hal ini karena adanya campur tangan dari PBB yang memfasilitasinya.
Wujud dari campur tangan PBB tersebut adanya konfrensi di atas yaitu : - Indonesia merupakan Negara bagian RIS - Indonesia RIS yang di maksud Sumatera dan Jawa - Wilayah diperkecil dan Indonesia di dalamnya - RIS mempunyai kedudukan yang sama dengan Belanda - Indonesia adalah bagian dari RIS yang meliputi Jawa, Sumatera dan Indonesia Timur.
Diadakannya perubahan bentuk negara kesatuan RI menjadi negara serikat ini adalah merupakan konsekuensi sebagai diterimanya hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Perubahan ini dituangkan dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Hal ini karena adanya campur tangan dari PBB yang memfasilitasinya.
Wujud dari campur tangan PBB tersebut adanya konfrensi di atas yaitu : - Indonesia merupakan Negara bagian RIS - Indonesia RIS yang di maksud Sumatera dan Jawa - Wilayah diperkecil dan Indonesia di dalamnya - RIS mempunyai kedudukan yang sama dengan Belanda - Indonesia adalah bagian dari RIS yang meliputi Jawa, Sumatera dan Indonesia Timur.
Antara 1950 –
1959 Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer yang dalam waktu 4
tahun telah terjadi 33 kali pergantian kabinet (Feith, 1962 dan Feith, 1999).
Setelah unitary dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), Indonesia mulai menganut sistem Demokrasi Liberal
dimana dalam sistem ini pemerintahan berbentuk parlementer sehingga perdana menteri
langsung bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) yang terdiri dari
kekuatan-kekuatan partai. Anggota DPR berjumlah 232 orang yang terdiri dari
Masyumi (49 kursi), PNI (36 kursi), PSI (17 kursi), PKI (13 kursi), Partai
Katholik (9 kursi), Partai Kristen (5 kursi), dan Murba (4 kursi), sedangkan
sisa kursi dibagikan kepada partai-partai atau perorangan, yang tak satupun
dari mereka mendapat lebih dari 17 kursi. Ini merupakan suatu struktur yang
tidak menopang suatu pemerintahan-pemerintahan yang kuat, tetapi umumnya
diyakini bahwa struktur kepartaian tersebut akan disederhanakan apabila
pemilihan umum dilaksanakan.
Setelah
pembentukan NKRI diadakanlah berbagai usaha untuk menyusun Undang-Undang Dasar
baru dengan membentuk Lembaga Konstituante. Lembaga Konstituante adalah lembaga
yang diserahi tugas untuk membentuk UUD baru. Konstituante diserahi tugas
membuat undang-undang dasar yang baru sesuai amanat UUDS 1950. Namun sampai
tahun 1959 badan ini belum juga bisa membuat konstitusi baru. Maka Presiden Soekarno
menyampaikan konsepsi tentang Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil pemilu yang
berisi ide untuk kembali pada UUD 1945.
B. Sistem
Pemerintahan Indonesia Tahun 1959-1966
Sebagaimana
dibentuknya sebuah badan konstituante yang bertugas membuat dan menyusun Undang
Undang Dasar baru seperti yang diamanatkan UUDS 1950 pada tahun 1950, namun
sampai akhir tahun 1959, badan ini belum juga berhasil merumuskan Undang Undang
Dasar yang baru, hingga akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit pada 5
Juli 1959. Bung Karno dengan dukungan Angkatan Darat, mengumumkan dekrit 5 Juli
1959. Isinya; membubarkan Badan Konstituante dan kembali ke UUD 1945. Sejak
1959 sampai 1966, Bung Karno memerintah dengan dekrit, menafikan Pemilu dan
mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup, serta membentuk MPRS dan
DPRS. Sistem yang diberlakukan pada masa ini adalah sistem pemerintahan
presidensil.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ialah dekrit yang mengakhiri masa parlementer dan digunakan kembalinya UUD 1945. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin. Isinya ialah:
1.Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
2.Pembubaran Konstituante
3. Pembentukan MPRS dan DPAS
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ialah dekrit yang mengakhiri masa parlementer dan digunakan kembalinya UUD 1945. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin. Isinya ialah:
1.Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
2.Pembubaran Konstituante
3. Pembentukan MPRS dan DPAS
Orde baru
pimpinan Soeharto lahir dengan tekad untuk melakukan koreksi terpimpin pada era
orde lama. Namun lama kelamaan banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan.
Soeharto mundur pada 21 Mei 1998. Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto
untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali
secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada
dasarnya sistem yang diberlakukan pada masa ini adalah sistem pemerintahan
presidensil. Dalam masa ini, DPR berada di bawah kontrol eksekutif. Kekuasaan
presiden yang terlalu besar dianggap telah mematikan proses demokratisasi dalam
bernegara. DPR sebagai lembaga legislatif yang diharapkan mampu menjalankan
fungsi penyeimbang (checks and balances) dalam prakteknya hanya sebagai
pelengkap dan penghias struktur ketatanegaraan yang ditujukan hanya untuk
memperkuat posisi presiden yang saat itu dipegang oleh Soeharto.
C. Sistem
Pemerintahan Indonesia Tahun 1998-sekarang
Masa ini
merupakan masa dimana telah berakhrirnya rezim orde baru dan dimulainya masa
reformasi. Pasca orde baru UUD 1945 telah diamandemen sebanyak empat kali.
Sejak 2002, dengan berlakunya UUD hasil amandemen keempat, berlaku sistem
presidensial. Posisi MPR sebagai pemegang kedaulatan negara tertinggi dan
sebagai perwujudan dari rakyat dihapus, dan badan legislatif ditetapkan menjadi
badan bi-kameral dengan kekuasaan yang lebih besar (stong legislative). UUD
2002 hasil amandemen bahkan telah menimbulkan kompleksitas baru dalam hubungan
eksekutif dan legislative, bila presiden yang dipilih langsung dan mendapat
dukungan popular yang besar tidak mampu menjalankan pemerintahannya secara
efektif karena tidak mendapat dukungan penuh dari koalisi partai-partai
mayoritas di DPR. Political gridlocks semacam itu telah diperkirakan dan
karenanya ingin dihindari oleh para perancang UUD 1945, hampir 6 dekade yang
lalu, sehingga akhirnya tidak memilih sistem presidensial sebagai sistem
pemerintahan untuk negara Indonesia yang baru merdeka. (Setneng RI, 1998 dan
Kusuma, FH-UI, 2004). Setelah MPR mengesahkan amandemen ketiga dan keempat UUD
1945, sistem pemerintahan negara Indonesia berubah menjadi sistem presidensial.
Perubahan tersebut ditetapkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD baru. MPR tidak lagi
merupakan perwujudan dari rakyat dan bukan locus of power, lembaga pemegang
kedaulatan negara tertinggi. Pasal 6A ayat (1) menetapkan “Presiden dan Wakil
Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Dua pasal
tersebut menunjukkan karakteristik sistem presidensial yang jelas berbeda
dengan staats fundamental norm yang tercantum dalam Pembukaan dan diuraikan
lebih lanjut dalam Penjelasan UUD 1945. Pelaksanaan demokrasi pancasila pada
era reformasi telah banyak memberikan ruang gerak pada parpol maupun DPR untuk
mengawasi pemerintah secara kritis dan dibenarkan untuk unjuk rasa. Sistem
Pemerintahan setelah amandemen (1999 – 2002) :
· MPR bukan lembaga tertinggi lagi.
· Komposisi MPR terdiri atas seluruh anggota DPR ditambah DPD yang dipilih oleh rakyat.
· Presiden dan wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat.
· Presiden tidak dapat membubarkan DPR.
· Kekuasaan Legislatif lebih dominan.
· MPR bukan lembaga tertinggi lagi.
· Komposisi MPR terdiri atas seluruh anggota DPR ditambah DPD yang dipilih oleh rakyat.
· Presiden dan wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat.
· Presiden tidak dapat membubarkan DPR.
· Kekuasaan Legislatif lebih dominan.